Pengaruh KKM dan Nilai UN terhadap Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Undangan
Yuliana Eka Saputri
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Semarang
Abstrak
Artikel ini membahas
masalah kebijakan pemerintah dalam menetapkan pola penerimaan mahasiswa baru Perguruan
Tinggi Negeri jalur undangan (SNMPTN) yang dipengaruhi oleh nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) dan nilai Ujian Nasional (UN). Kebijakan ini tidak
sesuai dengan fakta penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang banyak mengalami kendala dalam hal
pelajaran. Setiap sekolah akan berlomba-lomba menerapkan kebijakan nilai KKM
yang tinggi. Upaya ini dilakukan atas dasar keinginan untuk menaikkan angka
kelulusan dan diterimanya peserta didik dalam seleksi SNMPTN. Kebijakan
pemerintah ini secara tidak langsung telah memaksa para guru untuk melakukan
konversi nilai. Artikel ini merekomendasikan agar pemerintah mengatur kebijakan
yang menetapkan KKM di seluruh sekolah disetarakan dan disesuaikan dengan
kemampuan daerah dalam memajukan pendidikan. Selain itu penerimaan mahasiswa
baru sebaiknya tidak melalui jalur SNMPTN, melainkan melalui jalur tes tertulis
yang hasilnya lebih objektif. Jalur tes tertulis ini dilaksanakan secara
bergelombang dan dilaksanakan secara nasional maupun mandiri oleh PTN.
Kata kunci : kebijakan, kriteria ketuntasan minimal,
nilai, seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, ujian nasional.
Pendahuluan
Sistem pendidikan nasional merupakan
sebuah gambaran, aturan, konsep dasar yang rill mengenai pendidikan yang
terjadi di suatu negara. Sistem pendidikan nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
No.20 Tahun 2003 pasal 57-59. Di dalamnya dirumuskan konsep kurikulum sebagai
“seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Di Indonesia, dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki andil yang besar
dalam merancang, menetapkan, melaksanakan, serta mengawasi jalannya kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan.
Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan kurikulum merupakan salah satu bentuk terselenggaranya sistem
pendidikan nasional. Jika dilihat dari perumusannya, kurikulum dapat dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu: (1) kurikulum disusun secara top down dan terpusat; dan (2) kurikulum yang disusun secara bottom up dan terdesentralisasi. Di
Indonesia dengan orientasi kebijakan yang masih setengah-setengah antara
sentralis dan desentralis, maka beberapa kebijakan pendidikan tampak gagap
menghadapi tarikan kepentingan dan realitas sosial masyarakat. Inilah masalah
yang sangat krusial dalam dunia pendidikan kita. Penyelesaiannya dapat
dilakukan perancangan ulang atau pembenahan terhadap sistem yang telah ada (Subkhan,
2013).
Hampir
setiap tahun kurikulum pendidikan di Indonesia berganti. Silih bergantinya
kurikulum dalam jangka waktu yang singkat menyebabkan hasil dari kurikulum yang
sebelumnya belum terevaluasi dengan baik, sehingga menyebabkan kesalahan yang
sama pada kurikulum selanjutnya. Selain itu, sering bergantinya kurikulum ini
seolah sebagai ajang pengakuan politik setiap pimpinan satuan pendidikan dengan
menerapkan kebijakan-kebijakan baru. Kebijakan kurikulum ini seharusnya perlu
dirancang secara matang dan terencana agar tidak menimbulkan polemik dalam
dunia pendidikan.
Setelah
setahun lebih masa Pemerintahan Presiden SBY-JK pada Februari 2006 muncul
istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang seolah-olah
menggantikan wacana Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Rujukan pengembangan
KTSP adalah UU No.20/2003 pasal 36 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik.” Kemudian juga pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa, “Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok
atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan
dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah” (Darmaningtyas & Subkhan,
2012).
Penyusunan
KTSP oleh sekolah dimulai tahun pelajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar
Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang
dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) terbentuk KTSP. Berdasarkan pernyataan di
atas, penerapan KTSP merupakan kewenangan pribadi dari pihak sekolah/institusi
pendidikan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum sesuai dengan visi dan misi
masing-masing.
Dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digunakan pola penilaian tertentu
dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk
menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Acuan kriteria tidak dapat diubah serta merta karena hasil
empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk
menentukan ketuntasan belajar peserta didik. Jika diperoleh hasil rata-rata
kurang memuaskan, nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk
mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi
kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat
terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remidial bagi peserta didik
yang belum memenuhi KKM, dan layanan pengayaan bagi peserta didik yang telah
memenuhi KKM (www.tuanguru.com., 2012)
Jika kita
telaah lebih jauh, pemberian layanan remidial kurang memberikan stimulus bagi peserta
didik untuk belajar lebih mendalam terhadap pelajaran tertentu. Praktik
remidial lebih banyak menggunakan tugas atau sekedar mengikuti dengan syarat
“yang penting ikut remidial”. Hanya segelintir guru yang mengulang materi dan
memberikan soal baru tentang materi pelajaran yang diujikan sebagai bahan
remidial. Sehingga peserta didik banyak yang meremehkan esensi dari materi
pelajaran tersebut. Peserta didik merasa aman dan puas dengan mendapatkan nilai
sesuai KKM. Pemikiran peserta didik yang demikian perlu diluruskan. Guru
pemberi remidial harus tegas dan konsekuen dalam memberikan penilaian terhadap
hasil belajar atau ulangan peserta didik. Menurut Panduan Penyelenggaraan
Pembelajaran Remidial, Depdiknas (2008) bentuk-bentuk pembelajaran remidial
antara lain adalah (1) Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media
yang berbeda, (2) pemberian bimbingan secara khusus, (3) tugas-tugas latihan
secara khusus, (4) pemanfaatan tutor sebaya. Jadi, berapapun kemampuan peserta
didik setelah mengikuti proses remidial, pasti hasil rapor peserta didik
tersebut akan sesuai KKM dan peserta didik tersebut dinyatakan lulus.
Adapun
fungsi dari kriteria ketuntasan minimal yaitu (1) sebagai acuan bagi pendidik
dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran
yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannnya
berdasarkan KKM yang ditetapkan, (2) sebagai acuan bagi peserta didik dalam
menyiapkan diri mengikuti penilaian mata pelajaran. Setiap kompetensi dasar
(KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta
didik. Peserta didik diharapkan dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti
penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bisa
dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu
perbaikan, (3) dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan
evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi
keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan
pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD
berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi
tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan
dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana¬prasarana belajar di sekolah,
(4) merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara
satuan pendidikan dengan masyarakat, (5) merupakan target satuan pendidikan
dalam pencapaian kompetensi tiap mata pelajaran. Satuan pendidikan harus
berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan (www.tuanguru.com., 2012).
Kemampuan Sekolah Menentukan Kebijakan
Sekolah atau
satuan pendidikan dalam menentukan kebijakan KKM tiap mata pelajaran seyogyanya
tidak mengedepankan gengsi terhadap daya saing sekolah melainkan menyesuaikan
dengan kemampuan peserta didik dalam memahami tiap indikator pelajaran di sekolah.
Penggunaan kebijakan KKM merupakan bentuk kesepakatan antara para guru mata
pelajaran dalam satu sekolah atau dalam forum MGMP. Penggunaan KKM ini memang
dapat membantu para guru dalam menentukan standar nilai minimal dalam penilaian
hasil belajar peserta didik. Namun perancangannya perlu menyesuaikan komponen
pembelajaran yang menyangkut keberhasilan peserta didik dalam memahami konsep
dan memiliki kompetensi terhadap pelajaran tersebut.
Kebijakan nilai
KKM di suatu sekolah yang berstandar nasional akan lebih tinggi daripada nilai
KKM di sekolah biasa atau sekolah di pedesaan. Di Sekolah Standar Nasional
(SSN) penerapan KKM telah diseragamkan pada semua mata pelajaran yang
diajarkan, sehingga peserta didik diharapkan memiliki kemampuan yang merata
terhadap semua mata pelajaran. Penerapan KKM ini juga kurang mempertimbangkan
kemampuan riil peserta didik dalam menerima pelajaran. KKM yang tinggi mempermudah
peserta didik dalam memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi, namun lebih
penting daripada itu yaitu peserta didik menjadi terpacu untuk mendapat nilai
yang sesuai dengan kemampuannya tanpa harus berpedoman pada nilai KKM sekolah. Terkait
dengan hal tersebut, kriteria
ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai
acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik. Laporan hasil belajar (rapor)
merupakan laporan tertulis dari aspek kognitif. Rapor ini berisi nilai tugas,
nilai ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan semester. Setiap
nilai tersebut memiliki bobot penilaian yang berbeda. Dan tidak semua peserta
didik selalu konsisten menghasilkan nilai yang baik. Penilaian rapor selama 3
tahun di sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan selalu mengalami
pasang surut, sesuai dengan kadar prestasi peserta didik itu sendiri. Bahkan
nilai tersebut memang bukan seutuhnya hasil murni seorang peserta didik,
melainkan hasil dari kegiatan kelompok.
Perlu
dicermati pula bahwa penyelenggaraan ujian nasional tidak sesuai dengan pola
penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Dalam praktiknya
pemerintah pun mengetahui banyak kecurangan yang terjadi di sekolah, kebocoran
soal UN, manipulasi nilai, atau yang paling menghebohkan adalah konversi nilai.
Namun, mengapa pemerintah masih mempertahankan ujian nasional sebagai salah
satu komponen penerimaan mahasiswa baru. Padahal beberapa perguruan tinggi yang
menolak pengintegrasian UN dengan SNMPTN. Pihak Kemendiknas menyatakan bahwa
alasan penolakan PTN karena tidak
percaya pada proses UN, karena itu PTN akan dilibatkan dalam penyusunan soal,
pengawasan, hingga pengadaannya, tujuannya untuk meningkatkan kredibilitas UN.
Seperti yang dilansir dari pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah Slamet Nur Achmad Effendi yang mengatakan bahwa ketika hasil UN
dijadikan alat seleksi masuk PTN, dikhawatirkan dapat meningkatkan kecurangan,
sebab hasil UN belum menggambarkan kemampuan personal calon mahasiswa baru (www.jpnn.com., 2012).
Ujian
nasional hanya mengedepankan aspek kognitif, sedangkan seleksi masuk perguruan
tinggi memerlukan penilaian yang prediktif dari kompetensi siswa pada
kesesuaian pemilihan dan kemampuan bersaing dalam proses perkuliahan di
perguruan tinggi (PT). Darmaningtyas dan Subkhan (2012) menyebutkan sebenarnya
terdapat hal substansial yang mendasari penolakan tersebut, yaitu karena desain
UN memang merupakan tes sumatif untuk mengetahui dan menilai kemampuan akhir
seseorang yang telah menempuh proses pembelajaran, sedangkan ujian masuk kampus
seperti SNMPTN (sebelum 2013) dan SBMPTN (setelah 2013) didesain untuk
mengetahui kemampuan seseorang yang akan masuk dalam proses pembelajaran
tertentu (prediktif). Argumentasi penggabungan UN dan SNMPTN yang
diformulasikan dengan tetap adanya UN yang sekaligus berfungsi sebagai alat
seleksi calon mahasiswa baru jelas tidak logis, dengan kata lain seleksi calon
mahasiswa baru ditiadakan dan diganti oleh UN yang tujuan dan desainnya 180
derajat berbeda dengan tes masuk kampus.
Di
sisi lain, pemberlakukan kebijakan pemerintah tentang penerimaan mahasiswa baru
melalui jalur undangan (SNMPTN) tahun 2013 dan 2014 telah disepakati oleh
sebagian besar PTN. Dengan pola penerimaan yang demikian ini, semua peserta
didik memiliki hak yang sama untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa baru.
Penjaringan tersebut tidak mengenal apakah siswa yang pandai akan
diterima/sebaliknya. Salah satu komponen yang bisa menjadi bahan pertimbangan
dalam memilih jurusan di PTN yaitu tingginya prestasi peserta didik dalam nilai
sekolah (nilai rapor dan ujian sekolah) dan nilai ujian nasional. Diperlukan
strategi yang cerdas dalam memilih jurusan di PTN apabila tabungan nilai yang
dimiliki dirasa pas-pasan, agar berpeluang besar diterima di PTN tersebut.
Dapat
dikatakan penerapan KKM yang tinggi tentu akan mempengaruhi nilai laporan hasil
belajar/rapor untuk diterima di PTN. Penerapan KKM tinggi pun tidak menjamin
peserta didik bisa diterima di PTN karena masing-masing PTN memiliki standar
penerimaan yang berbeda untuk setiap program studi//jurusan. Standar ini
disesuaikan dengan nilai sekolah dan nilai UN, kuota, dan tingkat keketatan
tertinggi.
Solusi yang Problematik
Berdasarkan pada kenyataan
terselenggaranya hajat pendidikan tinggi tahun 2013 dan 2014 terdapat beberapa
solusi, antara lain adalah perlu pembenahan yang serius dalam membangun kembali
aturan penerimaan mahasiswa baru. Pola penerimaan mahasiswa baru melalui jalur
undangan dirasa sangat mendoktrin peserta didik SMA/SMK untuk memikirkan nilai
rapor mereka. Peserta didik kurang memahami tujuan untuk mempelajari ilmu yang
diajarkan. Pemikiran mereka terkurung untuk menghasilkan laporan kognitif yang
baik dan di atas rata-rata. Penerapan KKM dalam sekolah harus mempertimbangkan
visi dan misi sekolah dan kemampuan peserta didik dalam kemantapan memahami
pelajaran yang diajarkan dan mampu mengaplikasi pelajaran tersebut secara riil.
Jika
syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi lebih
memprioritaskan hasil belajar peserta didik selama tiga tahun dan hasil ujian
nasional yang secara sumatif tidak sesuai dengan orientasi belajar di kampus. Maka
hal tersebut perlu diganti dengan memprioritaskan semua gelombang tes tertulis
masuk perguruan tinggi yang dapat dipercaya keabsahannya.
Penutup
Berdasarkan atas beberapa kajian
teori yang telah dikemukakan di atas, penulis merekomendasikan agar penerapan
KKM di setiap sekolah selalu mendapat pengawasan dari pemerintah dan
diseragamkan menurut tingkat kemampuan masing-masing sekolah dalam mencapai
standar nasional pendidikan. Kesatuan persepsi dalam standar penilaian tentu
dapat menjadi dasar yang memudahkan dalam mencapai standar pendidikan nasional.
Setiap
penyelenggara pendidikan memiliki andil dalam membuka peluang bagi setiap peserta didik agar dapat mengenyam
pendidikan tinggi. Maka sudah seharusnya kebijakan pemerintah tentang ketentuan
KKM, nilai rapot, dan nilai UN dilaksanakan sesuai dengan kemampuan riil siswa.
Seharusnya pola penerimaan masuk Perguruan Tinggi Negeri dapat diperketat
dengan diadakannnya ujian tertulis saja. Karena ujian tertulis ini dapat
mementukan kemampuan akademik serta kesiapan siswa memasuki dunia perguruan tinggi.
Ujian tulis ini dilaksanakan secara bergelombang dan berkala agar banyak siswa
SMA dan SMK dapat mengikuti ujian ini dengan harapan dapat diterima di PTN.
Daftar
Pustaka
Anonim.
(2010). Tunggu Kesepakatan Tertulis Para Rektor.
Diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2010/12/19/79984/Tunggu-Kesepakatan-Tertulis-Para-Rektor-
, pada
10 Oktober 2014
Anonim. (2012). Pengertian dan Fungsi Kriteria Ketuntasan
Minimal. Diunduh dari http://www.tuanguru.com/2012/10/pengertian-dan-fungsi-KKM.html, pada 10 Oktober 2014
Darmaningtyas
& Subkhan, E. (2012). Manipulasi
Kebijakan Pendidikan. Jakarta : Resist Book
Depdiknas,
(2008). Sistem Penilaian KTSP; Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Remedial.
Jakarta: Dir. PSMA
Republik
Indonesia. (2003). Undang-Undang No.20
Tahun 2003 pasal 57-59 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
Republik
Indonesia. (2006). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta
Subkhan, E. (2013). Pengantar
Teknologi Pendidikan Perspektif Paradigmatik dan Multidimensional.
Yogyakarta: Deepublish
Subkhan,
E (2014). Urgensi Tim Pengembangan
Teknologi Pendidikan. (Artikel). Universitas
Negeri Semarang, Semarang
analisisnya keren, tapi mungkin untuk sistematika he buat penyusunan daftar pustaka mungkin yang di dahulukan yang dari buku dulu baru yang daru abibun ya.
BalasHapusbagus, sipp.
BalasHapusLanjutkan artikelnya. Bagus sekali kunjungi juga deasyamalina052.blogspot.com sekalin komentarnya ya
BalasHapusterima kasih untuk masukannya, :)
BalasHapus